Ratu Shima, Kepemimpinan dan Keadilan dalam Kerajaan Kalingga

    Ratu Shima, Kepemimpinan dan Keadilan dalam Kerajaan Kalingga

    Oleh : Brigjen Pol. R. Nurhadi Yuwono, S.I.K., M.Si., CHRMP.

    DENPASAR - Ratu Shima, sosok legendaris dalam sejarah Kerajaan Kalingga, dikenal sebagai pemimpin yang memerintah dengan tegas dan adil. Kerajaan Kalingga, terletak di pesisir utara Jawa Tengah, memulai perjalanan kejayaannya sejak abad ke-6. Namun, puncak kejayaan mereka tercapai saat Ratu Shima memegang tampuk kekuasaan pada tahun 674 M.

    Kerajaan Kalingga memiliki akar sejarah yang kaya, dimulai oleh orang-orang pelarian dari India setelah kerajaan mereka dihancurkan. Mereka membawa agama Hindu dan Buddha ke wilayah ini, yang kemudian memengaruhi budaya dan bahasa yang digunakan oleh masyarakat setempat. Pendeta dari Tiongkok juga datang ke Nusantara, khususnya wilayah Kalingga, pada masa itu.

    Ratu Shima (674-695 Masehi) dikenal sebagai sosok pemimpin perempuan yang tegas. Ia memerintah Kerajaan Kalingga untuk menggantikan suaminya, Raja Kartikeyasinga, yang wafat pada 674 Masehi. Berkat ketegasan Ratu Shima selama memimpin, Kerajaan Kalingga dikenal di seluruh dunia kala itu. Kalingga (disebut juga Keling atau Holing) adalah kerajaan Hindu yang pernah menjadi salah satu pemerintahan terbesar di Jawa, berpusat di pesisir pantai utara Jawa, tepatnya di wilayah yang kini bernama Jepara, Jawa Tengah. Ratu Shima memerintah sejak tahun 674 hingga 695 Masehi.

    Ratu Shima lahir pada 611 M di Sumatera bagian selatan dan kemudian pindah ke Jepara setelah menikah dengan pangeran dari Kalingga, Kartikeyasinga, yang kemudian menjadi raja dari tahun 648 hingga wafat pada 674 M. Julukan "Shima" sering diidentikkan dengan istilah "simo" yang berarti "singa, " tetapi julukan ini tidak membuat sang ratu ditakuti, namun sebaliknya, ia dicintai oleh seluruh rakyatnya.

    Di masa kepemimpinannya, Ratu Shima menunjukkan ketegasannya melalui sebuah legenda terkenal. Seorang raja bernama Ta-Shih ingin menguji ketegasan Ratu Shima dengan meletakkan sekantung emas di persimpangan jalan, dekat alun-alun kerajaan. Ia ingin mengetahui apakah ada rakyat Kalingga yang berani mengambil barang yang bukan milik mereka. Setelah beberapa bulan, kantung tersebut masih tergeletak di sana, tetapi ketidakberuntungan menimpa Pangeran Narayana, putra Ratu Shima, yang secara tidak sengaja menyentuh kantung tersebut dengan kakinya.

    Sebagai seorang ibu, Ratu Shima tidak pandang bulu dalam memberikan hukuman. Ia menjatuhkan hukuman mati kepada Narayana meskipun sebenarnya sangat menyayanginya. Seluruh pejabat dan keluarga istana Kerajaan Kalingga memohon keringanan kepada Ratu Shima agar pangeran Narayana diberikan ampunan. Namun, Ratu Shima tetap dengan pendiriannya untuk menegakkan keadilan. Akhirnya, hukuman mati dibatalkan, tetapi kaki Narayana dipotong sebagai hukumannya karena telah menyentuh barang yang bukan miliknya.

    Di bawah kepemimpinan tegas Ratu Shima, Kerajaan Kalingga mencapai puncak keemasan. Mereka mengambil alih peran sebagai pusat perdagangan yang awalnya dikuasai oleh Kerajaan Tarumanegara di pesisir utara Jawa bagian barat. Kerajaan Kalingga juga menjalin kerja sama dengan Kekaisaran Cina sejak abad ke-5 M. Ratu Shima berhasil mengembangkan sektor pertanian dan kerajinan tangan untuk meningkatkan ekonomi Kerajaan Kalingga.

    Setelah memimpin selama 21 tahun, Ratu Shima meninggal dunia pada tahun 695 M. Wilayah Kerajaan Kalingga kemudian dibagi menjadi dua untuk anak-anaknya. Pangeran Parwati menguasai Kalingga utara, sedangkan bagian selatan diserahkan kepada Pangeran Narayana. Namun, setelah kematian Ratu Shima, keruntuhan Kerajaan Kalingga mulai terlihat dan akhirnya hancur, mungkin akibat serangan dari Kerajaan Sriwijaya pada tahun 752 M.

    Keturunan Ratu Shima kelak menjadi raja-raja besar di Jawa, termasuk para pemimpin Dinasti Mataram yang turunan kerajaannya masih eksis hingga saat ini di Surakarta dan Yogyakarta. Keling, nama lain dari Kalingga dan pusat kerajaan, sekarang dikenal sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Jepara. 

    Silsilah keturunan Ratu Shima memiliki pengaruh besar pada sejarah Jawa. Putrinya, Parwati, menikah dengan putra mahkota Kerajaan Galuh, Mandiminyak. Melalui pernikahan ini, Ratu Shima memiliki cucu bernama Sannaha. Sannaha kemudian menikah dengan raja ketiga Kerajaan Galuh, Bratasenawa, dan melahirkan seorang anak bernama Sanjaya. Setelah Ratu Shima meninggal, Sanjaya diangkat untuk menggantikannya dan memerintah wilayah Kalingga Utara, yang akhirnya menjadi cikal bakal Bumi Mataram.

    Peninggalan Kerajaan Kalingga masih dapat kita saksikan hingga saat ini. Prasasti seperti Prasasti Tukmas, Prasasti Sojomerto, dan candi-candi seperti Candi Angin dan Candi Bubrah menjadi bukti sejarah kejayaan Kerajaan Kalingga. Prasasti Tukmas, misalnya, menggambarkan hubungan manusia dengan dewa Hindu melalui simbol-simbol seperti trisula dan bunga teratai.

    Dengan kepemimpinan yang adil dan tegas, Ratu Shima menjadikan Kerajaan Kalingga sebagai pusat peradaban yang makmur, dan pengaruhnya dalam sejarah Jawa masih terasa hingga saat ini.

    Penulis : Kepala BNN Provinsi Bali.
    Editor : Ray

    Ray

    Ray

    Artikel Sebelumnya

    Sarasehan Probo 08, Dewa Budiasa: Hilangkan...

    Artikel Berikutnya

    Panaskan PDI P, Gibran Tidak Mungkin Ke...

    Berita terkait